Antara Harapan & Kenyataan
Oleh: djabar tianotak
Oleh: djabar tianotak
Pasal 9 ayat (1) UU RI No. 40 thn 2003 ttg pembentukan Kabupaten Seram Bagian
Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Kepulauan Aru di Provinsi
Maluku berbunyi ibu kota Kabupaten Seram Bagian Timur berkedudukan di dataran
hunimoa Nasib Hunimoa
. Penjelasan atas UU RI No. 40 thn 2003 pasal 9 ayat (1) yang dimaksud Dataran Hunimoa sebagai Ibu Kota Kabupaten Seram Bagian Timur berada di Kecamatan Seram Timur.
. Penjelasan atas UU RI No. 40 thn 2003 pasal 9 ayat (1) yang dimaksud Dataran Hunimoa sebagai Ibu Kota Kabupaten Seram Bagian Timur berada di Kecamatan Seram Timur.
Kini SBT sudah berusia 9 tahun, namun pembangunan Dataran Hunimoa sbg
pusat penyelenggaran pemerintahan hanya pepesan kosong. Pemda selalu berdalih
pembangunan hunimoa terkendala izin kementrian kehutanan RI karena berada
dikawasan hutan lindung. Alasan yang mengada-ada tuk menutupi ketidak becusan
atau ketidak pedulian pemda mentaati aturan perundang-undangan.
Hunimoa telah ditetapkan melalui hasil survey bappeda SBTdan tim ahli pada tahun 2005 lalu seluas 8.000 ha dengan pusat kota 5.000 ha dan pusat pemerintahan seluas 100 ha ternyata berada pada lahan dengan status hutan produksi, hutan produksi terbatas (hpt) dan hutan konversi.
Hunimoa telah ditetapkan melalui hasil survey bappeda SBTdan tim ahli pada tahun 2005 lalu seluas 8.000 ha dengan pusat kota 5.000 ha dan pusat pemerintahan seluas 100 ha ternyata berada pada lahan dengan status hutan produksi, hutan produksi terbatas (hpt) dan hutan konversi.
Tokoh-tokoh adat, raja-raja dan tokoh masyarakat dari 12 desa adat di
kec. Tutuk Tolu dan Kecamatan Seram Timur dengan suka relah menyerahkan tanah
adat seluas 8.000 ha di Kecamatan Tutuk Tolo dan Kecamatan Seram Timur untuk
dijadikan lokasi pembangunan infrastruktur ibukota Kabupaten Seram Bagian
Timur. Penandatanganan dokumen penyerahan tanah adat dilakukan di desa Kian
Darat dan Desa Gah pada hari Jumat, 10 oktober 2008 dalam upacara adat yang
dilanjutkan dengan prosesi adat penyerahan tanah yang disebut dataran honimoa,
5 kilometer arah belakang dari desa Gah tepat pukul 15.15 wit disaksikan para
raja, para tokoh adat, tokoh agama dan pemuda se-kecamatan Tutuk Tolu, Seram
Timur, Pulau Gorom, Wakate dan Werinama.
Namun sayang, setelah penyerahan hak ulayat, pembangunan hunimoa hanya
tinggal kenangan. Penyerahan hak ulayat dan peletakan batu pertama hanya jadi
alat propagandang penguasa untuk kepentingan politik Pilkada 2010 lalu. Bahkan
untuk mengelabui masyarakat pemerintah daerah setiap tahun menganggarkan dana
Rp.50 milyar dalam APBD SBT sejak tahun 2011, APBD SBT 2012 dengan total
anggaran Rp.100 milyar. Namun sayang, dana tersebut setiap akhir tahun anggaran
ternyata dialihkan ke hal-hal lainnya. Pemda kemudian berdalih anggaran
tersebut tidak bisa digunakan untuk kepentingan hunimua karena hunimoa berada
di kawasan hutan lindung dan blm ada izin alifungsi hutan dari kementrian.
Penantian 9 tahun menunggu proses izin adalah sesuatu yang sangat tidak
rasional. Izin alifungsi hutan untuk kepentingan investor perkebunan kelapa
sawit seluas 240.000 ha dari kec. Seram tara, Maluku Tengah hingga Desa Hoti
dan Desa Banggoi, Seram Bagian Timur dengan mudah keluar bahkn sudah beroperasi
sejak tahun 2009 lalu. Begitu juga izin alifungsi hutan untuk kepentingan
investor perkebunan sagu di sbt seluas 40.000 ha, perkebunan pala 5.000 ha dan
perkebunan tebu seluas 200.000 ha semuahnya sudah beroperasi, bahkan khusus
perkebunan pala milik pribadi Bupati Abdullah Vanath yang sudah ditanami anakan
pala sebanyak 172.000 pohon yang tresebar di beberapa lokasi sudah memasuki
usia remaja diantaranya daerah Silohan, Kec. Bula barat sebanyak 13.000 pohon
dan sisanya di gunung sunan, Kec. Werinama dan sekitaranya sebanyak 159.000
pohon. Padahal status lahan untuk kepentingan penguasa ini sama dgn status
lahan hunimoa yakni berada pada kawasan hutan produksi, hutan produksi terbatas
dan hutan konversi.
Setelah Hunimoa menjadi sorotan publik dan mendapat tekanan dari
masyarakat, DPRD SBT pada awal Mei lalu menggelar rapat dgn eksekutif di gedung
DPRD SBT. Keduanya sepakat membentuk tim bersama menelusuri persoalan izin
alifungsi hutan. Pada 14 Mei 2012 tim mulai bergerak menemui gubernur di Ambon
dan mentri kehutan di Jakarta. Namun lagi-lagi yang terjadi hanya legeslatif yg
menindaklanjuti, sementara eksekutif tidak satu pun yang terlibat lantaran
bupati dgn tegas melarang keterlibatan eksekutif.
Penelusuran tim DPRD ini pun lagi-lagi sudah dapat ditebak. 25 anggota
DPRD yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPRD, M. Yusuf Paitaha ini ternyata sampai
di Ambon hanya 12 anggota dewan yang menemui Gubernur Karel Albert Ralahalu dan
Dirjen di Jakarta. Sementara sisanya mengambil SPPD senilai Rp.18 juta perorang
dgn tugas mulai ini hanya tuk jalan-jalan di Ambon kemudian balik lagi ke Bula
tanpa hasil. Uang rakyat senilai Rp.450.000.000 lebih dihabiskan hanya untuk
keperluan jalan-jalan anggota dewan dgn SPPD fiktif. Sungguh MIRIS….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar